18.4.08

Ahir Pengembaraan Yan












Rahasia Sandal Jepit
dan Gula Jawa

Masih ingat Tu Heryanto? Petani kelapa sawit Muara Enim yang berobsesi menjelajahi Nusantara dengan berjalan kaki ini menebarkan pesan perdamaian ke kantung-kantung kelompok suporter sepakbola di Indonesia.

Suatu pagi, pria ini mendadak nongol di redaksi Bolamania, kira-kira setahun lewat. Sejak itulah terjalin keakraban di antara kami. Ia mengaku pertama dimuat media cetak di Bolamania. ”Nanti saya akan kembali lagi,” tuturnya, pada subuh Maret 2007 ketika meninggalkan halaman kantor tabloid ini.

Nah, pria kelahiran Palembang, 29 Januari 1960 yang sekarang tampak kekar itu kini menepati janji. Ia datang lagi minggu lalu. Dari ranselnya ia membagi oleh-olehnya pembaca Bolamania, sebelum kembali ke kampung halamannya di Jalan Slamet Riyadi RT 7/RW 02, Palembang, Sumatera Selatan. ‘Cendera mata’ itu berupa segudang dokumentasi foto berikut pengalamannya di berbagai kota di negeri ini, dalam bentuk CD (sebagian fotonya kami muat di halaman ini).

Dengan mata berbinar, Bang Yan (begitu kami biasa menyapanya) mengisahkan suka duka selama melakukan ‘ritual’ perjalanannya tersebut. “Semula, saya rencanakan (perjalanan) hanya sampai Januari, namun molor hingga April,” akunya dengan senyum.

Ia punya resep khusus untuk menjaga stamina agar tetap fit. “Rahasianya, dalam setiap perjalanan selalu mengunyah gula merah dan memakai sandal japit dan masker penutup wajah,” bebernya.

Yan telah menghabiskan 20 sandal, 9 Kg gula merah, dan 125 masker selama berjalan kaki sepenjang kurang lebih 5000 Km. Untuk merambah semua daerah di Nusantra, ia telah 4 kali naik kapal dan 2 kali pesawat. Dari pengembaraannya itu ia mengumpulkan 7 buku besar berisi kliping dan tandatangan pemain atau suporter.

Ponsel Raib

Selama berkelana, ia pernah tiga kali kehilangan handphone. Padahal, dalam ponsel-ponsel itu ada nomor-nomor telepon tokoh sepakbola dan para pentolan suporter. “Ya mau bagaimana lagi. Sedih sih, apalagi HP itu penting dan sebagai alat komunikasi dengan keluarga,” ujarnya kelu.

Ironisnya ketiga HP-nya itu justru hilang saat beristirahat siang di masjid, yakni di Sukoharjo (Solo), Weleri (Kendal, Jateng), dan Ternate (Maluku). ”Itu karena keteledoran saya. Yah, nggak perlu disesali,” ucapnya seperti biasa, rendah tanpa emosi.

Perihal suporter, Yan memiliki pandangan seperti ini. Menurutnya, tiap kelompok suporter di daerah memiliki respon yang berbeda-beda terhadapnya. ”Tak semuanya ramah dan bersahabat. Bahkan ada yang bersikukuh tak menerima salam damai. Tapi itu hak mereka. Namun kalau bisa antarsuporter damai dan saling berbagi,” harapnya.

Malaria, Dirampok, Ditangisi

Saat mengunjungi Papua, ia terpaksa tidak bisa bertemu dengan suporter lantaran mondok di rumah sakit, karena gejala malaria. “Tapi di sana saya berbesar hati karena sejumlah pemain Persipura membezuk. Ini yang membuat saya punya keinginan sembuh yang kuat saat itu,” ungkap Yan.

Ada petualangan seru lain yang pernah ia alami, yakni dirampok! Peristiwa itu terjadi di wilayah Makasar ke arah Gorontalo yang berjarak 1.338 km. Jarak ini ditempuhnya hampir dua bulan, melewati pemeriksaan barikade pos polisi, dan menembus hutan maupun perbukitan yang sepi. Maklum saja, itu daerah konflik Poso, yang masih dijejali penembak gelap. “Tapi, alhamdulillah saya selamat,” katanya.

Kenangan lain, ia pernah ditangisi seorang ibu yang merasa iba kepadanya. Wanita ini adalah pemilik warung yang baru saja dihampiri Yan untuk makan siang. Si ibu bersikeras agar Yan naik kendaraan umum saja ketimbang berjalan kaki. “Saya tak henti-hentinya melambaikan tangan kepadanya,” tuturnya lirih.

Beragam kesusahan ia cecap. Berbagai rintangan menghadangnya. Namun, seribu keluh kesahnya sontak sirna jika ia berhasil menjumpai kelompok suporter yang dituju, terutama ketika di daerah tujuan tengah digelar pertandingan sepakbola!

Sampai kapan, Bang? Bukankah di kampung halaman ada Sumarni, Margareta, dan Yuliani (istri serta dua putrimu) telah menunggu dengan harap-harap cemas? Subagyo




Rute Perjalanan Yan 2007-2008

Bertolak dari Palembang menuju Jawa. Singgah pertama di markas Brajamusti (Yogyakarta), lalu Slemania (Sleman), Persikmania (Kediri), Aremania (Malang), Sakeramania (Pasuruan), Laskar Nagasakti (Bali), Deltamania (Sidoarjo), Bonek (Surabaya), Ultras (Gresik), LA Mania (Lamongan).

Berlanjut ke Ganster(Rembang), Basoka-SMM (Kudus), Jetmania-Banaspati (Jepara), Panserbiru-SneX (Semarang), Roban Mania (Batang), Viking (Bandung), Garda Purwa (Purwakarta), Kabomania (Bogor), The Jakmania (Jakarta), La Viola (Tangerang), North Jak (Jakarta Utara).

Lalu terbang ke kalimantan menemui Persiba Fans Club (Balikpapan), Pusamania (Samarinda), Mitrakukar-Mtmen (Tenggarong), Mandaumania (Bontang), The Masman (Makasar), Blue Devil-The Go Mania (Gorontalo), Persminona Mania(Minahasa), Supermen (Ternate), terakhir ke Papua, namun tidak bsa bertemu suporter Kiraha dan The Camen. (*)



Cinta Tim, Tidak Cinta Sepakbola

Dari pengembaraannya itu ia menyimpulkan bahwa suporter selama ini lebih mencintai tim, tapi tidak mencintai sepakbola. “Rata-rata mereka belum bisa menerima kekalahan dan selalu dekat dengan minuman keras. Karenanya jika aturan dari BLI terutama kepemimpinan wasit tidak adil, mudah sekali terjadi keributan,” lontarnya.

Yan pun memilih suporter terbaik versinya. Ia menyebut Slemania, karena selalu mendukung kesebelasannya, baik saat menang maupun kalah. “Tidak pernah ricuh, meski kuantitas mereka besar,” katanya.

Ia menyebut, jika ada dua kelompok suporter dalam satu wilayah yang mendukung tim yang sama, biasanya tak pernah akur dan cenderung saling menjatuhkan. Subagyo

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Emoh basa-basi.....

Bolamania

Bolamania